Senin, 08 Agustus 2011

Cerpen: Gerimis Rintih-rintih

Gerimis Rintih-rintih

Awalnya hanya gerimis. Ragu-ragu. Akhirnya hujan pun merintih di atap.
Hujan itu membuat resah. Aku harus segera ke kampus. Hujan mesti ditembus karena ujian akan berlangsung pukul tujuh tepat, pagi itu.

Tetapi, tak mungkin juga ditempuh. Payung yang kubeli tiga bulan lalu telah patah dan tak layak lagi digunakan. Padahal dosen pengawas pagi ini cukup membuat gamang. Waktu menunjukan pukul enam lewat limapuluh menit, sisa sepuluh menit?! Yang benar saja!

Tiba-tiba ponselku bergetar, tanpa dering. Aku tahu, pasti Ronald. Kuangkat dengan perasaan berbunga, seperti kelopak yang pasrah menadahkan tangannya perlahan,

“hallo…”
“Hallo, Melan. Udah berangkat ke kampus ya?”
Sudah kuduga Ronald akan menanyakan itu. Pada akhirnya, dia akan menjemputku.
“Belum kok,” jawabku sekenanya. Dan tentu saja aku berharap dia akan mengantar aku ke kampus.

“Ya udah, tunggu aku di rumah sekarang. Aku antar ke kampus ya,” Ronald langsung menutup telponnya tanpa menunggu jawaban apapun dariku. Syukurlah, batinku.
Hujan masih bernaung. Di atap, iramanya seperti ratap yang tak berkesudahan. Seperti merintih ingin menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang tak pernah bisa kupahami. Meratap untuk siapa. Berpesan kepada siapa.

Tiga menit kemudian Ronald berdiri dengan mantel birunya telah terpasang rapi. Dia kuyup di depan rumahku. Lampu motornya dinyalakan karena cuaca berkabut dan hujan turun sangat keras tanpa ampun.

Aku berlari mendekatinya, bergegas meraih mantel ganda, mendekap Ronald. Dengan sigap, motor melaju tanpa ampun.
Begitulah.

Dia sangat perhatian sejak kami jadian seminggu yang lalu. Dia tidak pernah mengabaikan aku. Selalu ada saat aku membutuhkannya. Aku bagai putri raja yang selalu dikawal oleh dubalangnya. Segala inginku dia ciptakan. Segala pintaku dia wujudkan. Sungguh, aku bahagia.

Ronald yang kuliah di Jurusan favorit, tentu saja, membuat banyak wanita mengaguminya. Terlebih wanita-wanita cantik, karena Ronald juga berwajah tampan. Sungguh, aku sangat beruntung menjadi pacarnya saat ini. Tak semua orang mendapat kesempatan seperti yang kualami.

Satu lagi yang aku kagumi dari Ronald. Dia tidak penah merasa malu mengajak aku kemana pun. Dia perkenalkan aku dengan teman-temannya, lingkungannya, semuanya.
Kali ini aku diperkenalkan dengan Riski, temannya dari Jambi. Sejak mengambil Jurusan yang sana di Padang, Riski berteman akrab dengan Ronald. Pertemanan mereka yang sangat terbuka dan blak-blakan membuatku juga ikut larut dalam keakraban mereka.
“Kalau Ronald macam-macam, bilang padaku ya,” ujar Riski saat kami bercanda pulang dari kampus, suatu sore. Aku hanya tersenyum, melihat tawa Ronald, mendengar lelucon Riski. Tak begitu kupikirkan kata-kata Riski waktu itu. Ia juga sempat minta dicarikan pacar padaku.

“Mel, bantuin aku cari pacar donk... Biar ntar bisa jalan-jalan bareng kalian. Aku ‘kan juga pengen punya pacar. Tapi, carinya yang kayak kamu ya? Soalnya kamu baik, kali ini aku mau cari pacar yang lebih serius. Bosan juga mempermainkan wanita terus,” lanjut Riski sambil melirik-lirik aku. Ronald manggut-manggut. Kami pun tertawa.

“Ronald nggak suka macam-macam juga ‘kan ki?” Godaku sambil tersenyum geli ke arah ronald.
“Ya nggak lah…” Potong Ronald dengan ketus. Kami tertawa sekali lagi.

***

Ronald bermaksud menemui orangtuaku, sekedar bersilaturahmi. Sebelumnya aku belum pernah mengajak seorang pria manapun untuk datang ke rumah. Sesuai dengan apa yang dikatakannya padaku, ia juga ingin minta izin mama atau papa jika nantinya ingin mengajakku keluar. Tak perlu ada yang ditutup-tutupi dari hubungan kami, begitulah.
“Ronald ma… Ronald pa…” ucapnya, memperkenalkan diri, sambil menyalami orangtuaku.
Mama tersenyum menatap ke wajah tampan Ronald. Wajah yang memang sangat memikat untuk dipandang. Sejuk meneduhkan. Putih. Begitulah penilaian orang yang baru mengenal Ronald, sama seperti aku yang mengenalnya di facebook sebagai awal perkenalan kami.

Melihat fotonya, aku tak begitu yakin dia akan terpikat padaku. Tapi, setelah berkenalan, ketemuan, aku takjub dan tak ingin pergi darinya, karena terasa begitu nyaman bersamanya.

“Silahkan duduk dulu,” papa mengarahkan telunjuknya ke sofa empuk di ruangan paling depan di rumah kami. “Melan, ajak Ronald ngobrol ya. Papa ada urusan keluar sebentar,” lanjut papa.

“Ya, pa,” jawabku singkat. Maklum, papa memang sibuk dengan pekerjaannya di lapangan.
Aku menjadi semakin yakin dengan keseriusan hubungan kami, semua kata-kata Ronald telah ia buktikan padaku sekarang. Tak perlu lagi kuragukan untuk memberi seluruh hatiku padanya. Cinta yang semakin membuncah.

Hubungan kami sudah hampir dua bulan, tak penah ada pertengkaran serius di antara kami. Hari jadian yang berlangsung saat ulang tahunnya itu masih kuingat sampai hari ini. Hari yang menyatukan kami sampai hari ini dan berharap sampai selamanya.

***

Kaos coklat yang kubelikan sebagai hadiah ulang tahunnya kini ada padaku karena kemaren ia tinggalkan dalam keadaan basah selepas mengantarku. Ketika itu, hujan mengguyur dengan lebat, kuberikan baju yang kering padanya. Dan, rencananya nanti malam ia akan menjemput kaos coklat itu.
Tepat jam delapan malam itu, Ronald sudah berdiri di pagar rumahku. Menungguku keluar menemuinya.

“Maaf agak lama menunggu, tadi ambil ini dulu,” kuserahkan kaos coklatnya yang telah rapi kusetrika.

Dia tersenyum hambar mengambilnya, suaranya pun datar, seperti ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan. Bahkan saat aku bicara, dia tidak mau menatap mataku. Aku hanya mengerutkan dahi melihat sikap Ronald barusan. Aku heran, tak ada sentuhan hangat seperti biasa, tak ada kalimat-kalimat pengundang tawa. Apa yang terjadi sesungguhnya?

“Ada apa sih Ron? Kok kamu aneh malam ini? Seperti ada masalah. Cerita donk, mungkin aku biasa bantu,” kuraih tangannya, mencoba membuatnya rileks. Persis seperti yang dia lakukan padaku ketika aku sedang sedih.

“Nggak ada apa-apa, Mel,” jawabnya datar. Sikapnya itu membuatku semakin yakin kalau ada yang dia sembunyikan dariku.

“Aku nggak percaya, kamu pasti bohong. Kamu nggak pernah seperti ini. Biasanya kamu selalu menciptakan kehangatan, tapi sekarang sikap kamu dingin banget. Aku tidak ingin ada yang ditutup-tutupi, Ron,” aku coba membujuknya agar dia mau bercerita padaku tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Perlahan bibirnya bergerak, aku menunggu dengan tekun. “Melan, kemaren aku nabrak seorang ibu di jalan. Dan sekarang, dia ada di rumah sakit. Sementara, aku tak punya uang untuk menebus biayanya. Aku juga tak enak meminta pada mamaku, aku pasti akan membuatnya sangat khawatir,” raut wajah Ronald mengkerut seketika.
Kutatap iba wajah lesunya. Aku pun tidak dapat membantunya. “Untuk sekarang, aku tak punya uang, Ron…”

“Aku tak minta uangmu, Mel!” Ronald memotong pembicaraanku. “Aku Cuma butuh dukungan darimu, agar aku bisa melewati semua ini. Untuk semua biaya rumah sakit, aku akan usahakan pinjam pada teman-temanku di kampus.”

Malam itu memang tak banyak yang bisa kulakukan karena aku dan dia tak dapat berpikir jernih. Hari ini, aku telah mengambil uang tabunganku secukup biaya rumah sakit yang dipaparkan Ronald. Akhirnya, ketika bertemu dengannya di kampus kuserahkan uang itu.

“Apa ini?” Tanya Ronald heran saat kuberikan amplop coklat padanya. Setelah ia melihat isinya, ia berusaha mengembalikan ke tanganku.

“Ini buat ibu yang kamu tabrak itu, anggap saja kamu pinjam padaku. Kamu bisa kembalikan kapan pun kamu mau,” kusodorkan lagi amplop itu padanya.
Diterimanya juga. Dia tidak mau menatap mataku. Aku pergi, karena aku telah ditunggu teman-temanku di kafe belakang kampus. Aku hanya berharap, mudah-mudahan masalahnya segera selesai.

Aku makan siang bersama teman-temanku. Mereka tidak ada yang suka melihat aku dan Ronald pacaran, karena menurut mereka Ronald bukan orang yang tepat mendampingiku. Aku yang mencintai Ronald berusaha memungkiri itu.
Ponselku bergetar. Aku tahu pasti itu Ronald, “halo Ron…?”
“Melan,” suaranya lirih.
“Apa?”

Dan, aku pun tahu, Ronald mulai mengadu lagi padaku. Uang yang kuserahkan ternyata belum cukup membiayai ibu yang ditabraknya tempo hari.
“Ya sudah, sekarang temui aku di kantin belakang kampus. Lalu temani aku ke bank mengambil sisa tabunganku,” teman-temanku mendengar pembicaraan kami. Ada sikap yang aneh dari mereka saat tahu bahwa aku akan menyerahkan semua sisa tabunganku pada Ronald.
Aneh?
Berat hati menyerahkan tabungan itu, tetapi aku tetap harus menolongnya.

***

Dua hari aku tidak mendapat telepon atau pun SMS dari Ronald. Aku mencoba menelepon, tidak ada respon darinya. SMS juga tidak ada balasan. Selesai shalat magrib aku mencoba lagi menghubunginya. Kali ini, nomornya tidak bisa dihubungi. Aku telepon Riski, ia pun tidak tahu Ronald kemana.
Aneh?

Tepat jam sepuluh malam, aku menerina SMS dari Ronald.
“Melan...aku minta maaf, beberapa hari ini tidak menghubungi kamu. Aku harus menjelaskan sesuatu, berat sekali rasanya, tapi ini harus. Dua bulan kita jalani hubungan kita, aku cuma ngerasa kamu kayak adikku sendiri. Aku tahu, aku egois, lebih mementingkan perasaanku sendiri. Tapi, inilah yang kurasa. Kamu mau kan, mulai hari ini, kita jadi saudara aja?”

Tiba-tiba dadaku sesak. Seperti ada yang menekan. Aku lesu. Tak berdaya. Di luar, di balik jendela, gerimis merintih. Sungguh pilu.
Entah tahu dari siapa aku putus dengan Ronald, beberapa hari kemudian, Riski menelepon aku.

“Mel, sabar ya? Ronald cuma belum sadar kalu kamu yang terbaik. Tiga tahun kita kuliah, Ronald belum pernah dapat cewek sebaik kamu. Jadi jangan merasa sedih karenanya, karena sebentar lagi dia pasti akan menyesal tanpa kamu. Jujur aku memang belum tahu apa masalahan kalian sebenarnya. Aku masih belum percaya kalian sampai putus, karena selama ini yang kulihat, tidak pernah ada masalah apa-apa di antara kalian,”

“Beberapa hari lalu dia sibuk ngurusin ibu yang ditabraknya di jalan. Tetapi, setelah itu, dia mendadak minta putus,” aku masih kalut dengan keadaanku.
“Rumah sakit? Ibu? Yang mana yang kamu ceritakan, Melan? Setahuku Ronald tidak pernah menabrak orang di jalan. Apalagi seorang ibu. Ia juga tidak pernah ke rumah sakit,” tanya Riski terheran-heran.

Apa?!
Akhirnya, aku tahu, Ronald hanya ingin memanfaatkan aku. Apa yang selama ini dicemaskan oleh teman-temanku mengenai Ronald terjawab sudah. Entah siapa yang harus kusalahkan atas kejadian ini? Yang pasti, aku terlalu percaya dengan segala kegombalannya.
Di luar, awalnya hanya gerimis yang merintih. Pelan-pelan. Kini, hujan menjerit di atap rumah.
Padang, 2010

----------------------
Biodata Penulis

Rahmi Elin, lahir 17 Juli 1991 di Ampang Gadang, Pasaman Timur, Sumatera Barat. Bergiat di sanggar menulis Layarbirustudio. Saat ini sedang belajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, FBSS, Universitas Negeri Padang. Menetap di Air Tawar Barat, Padang.

Minggu, 07 Agustus 2011

Cerpen: Ranjang Panjang

Ranjang Panjang

Kepalaku gonjang-ganjing tak tahu arah kemana akan bersandar. Pagiku ditelan ranjang panjang berselimut dedaunan yang rimbun tak berakar. Siang ini ku rasakan aura yang berbeda, apa gara-gara tadi malam ku meninggalkan seorang gadis yang aku sayangi bermain dengan ponselnya di bawah angin yang merayu mata. Dia melontarkan kata-kata penuh harapan, serta panggilan agar terbangun dari mimpiku. Bersua kembali dalam peraduan kata-kata.

Masih ku rasakan kejamnya pundakku, leherku yang terus menusuk-nusuk dalam ingatan panjang. Sampai kapan pengharapan suatu kata lenyap dari ingatanku dan ingtannya.

Mataku terbuka tak mendapatkan apa yang biasanya aku makan dikala mata ini masih berbalut kotoran-kotoran malam. Sepi tiada rasa yang menyeruak dalam genggaman hati.

“hai ke manakah di pergi” bisikku dalam Tanya
“dia itu sedang terusik dengan kata-katamu yang rakus melahap seluruh jari jemarinya” terdengar sayup-sayup di antara dinding basah, bergelombang menarik mata. Meruncingkan ingatan kembali akan suara itu.
Ranjang panjang itu mulai menelanku secara pelan-pelan. Dengan ingatan yang sudah berbeda, dari dunia yang sudah kasat mata. Dari udara yang sama.

“hai ke mana saja kamu, ku tunggu di sini, baru menampakkan wajahmu?”
“hai, kenapa diam. Setelah 5 jam tak datang. Kini tepat pukul 5 wajahmu penuh dengan ukiran-ukiran warna kehitaman”.
“hai, kenapa tak menjawab pertanyaanku. Aku mengawatirkanmu, aku menunggumu, hanya untuk mendengar kata-kata motivasimu”.
“hai, kenapa terus membungkam mulutmu. Apa itu yang diajarkan setelah kamu menelan ribuan ilmu diperguruan tinggi itu”.
Lengser sudah pertanyaaku, sunyi kembali menemani. Nada tak lagi berteriak-teriak meminta tolong agar tubuhnya dibelai lagi.
Telinga kananku mulai berfungsi. Satu titik berperang,beradu aksi memberi informasi.
“bangun sayang, sudah jam berapa ini?”

Kata itu mucul lagi, mengisi hati dalam perut keganduhan. Melihat sepi yang ternoda akan rasa percaya diri. Palsu. Macam apa kata itu ada dalam benakku.

Ranjang mulai menggeliat, perutnya sudah mulai membesar. Suara ayunan menimbulkan nada yang menyedihkan. Menebarkan bau hitam dari lubang pantatnya. Angin berbisik mengurai jawaban yang belum pasti benar dalam ingatanku.
Aku terpaku di antara buku-buku yang gila akan penciptanya. Sebagai penikmat hanya menelan apa yang disampaikannya. Buku-buku itu teman dekatnya ranjang panjang. Setia bersama, mewujudkan visi misi dalam pertemanan mereka. Meskipun ada perbedaan yang besar menyolok setiap mata manusia yang menafsirkannya.

Mataku mulai bermain-main dengan sejumlah kata. Sejumlah kata yang berbeda dengan sebelumnya. Kata-kata ini titipan dari orang yang cerdas berkarakter tinggi. Penuh dengan kontlempase peradapan yang ia miliki. Kata-kata sebelumnya yang aku nikmati, sebuah kata-kata yang aku ciptakan sendiri kepada orang yang aku cintai. Bernada cinta dan rasa sayang tinggi. Tapi sekarang sepi karena dia sedang menikmati dunianya sendiri.

Satu paragraf, kemudian menyusul sampai enam paragraf. Ranjang panjang muncul lagi dengan perut laparnya. Perut besar, berisi angin, berisi air, dan berisi harapan-harapanku yang terdiam di dalamnya.

“sebentar, baru asyik bercinta dengan kata-kata ini. Amazing dan wonderful,wonderful, wonderful”
“Hemm kok malah sampai kata-kata yang di miliki orang nomer satu di negera ini. Tidak boleh begitu, ntar kamu dikenai pidana seribu tahun di penjara loh”. Ranjang panjang mulai cerewet dan menunjukkan sifat Sok Tahunya.
“ya tidak apa-apa to. aku di penjara malah bersukur gitu, ntar akan aku gunakan waktuku di penjara untuk menulis kata-kata yang lebih mantap. Biar bisa mencengkeram kata-kata yang sudah ada”.
“loh-loh sampean kok malah nantang to, bayangkan seribu tahun?”.

“alah, kata-kata dalam peraturan mereka itu menirukan para tukang jual penumbuh rambut di kotaku. Saya akan menggunakan waktu yang indah itu untuk menjadi lebih bermakna dalam hidupku”
Tergeletak sudah kata-kata itu dalam dadaku. Ranjang panjang sudah kehabisan akal, sudah kehabisan kesabaran. Senjata ampuh dari lubang kentutnya langsung membiusku.

Matahari menari-menari menacari celah-celah dalam dinding kamar setan. Setan berteriak kegirangan. Setan di sini tak seperti setan-setan bioskop. Semakin siang,semakin menjadi-jadi, menjadi Gerang, ganas, membakar semangat menjadi pengikutnya.
“hai, kamu siapa?. Pakainmu serba minim, membuat lidahku terkulai lemas”. Ada ketegangan sedikit, ketika dia membuka baju minimnya.

“hai, jangan kau buka pakaianmu aku sudah gak kuat menahannya”.
Terbuka semua pakaian dari atas sampai bawah. Tak ada satu benang pun menempel dalam tubuhnya. Perutku merasa mual-mual. Sekarang yang tegang bukan lagi alat laras panjang, tapi otak dan perutku lebih tegang. Seluruh isi perutku keluar dengan derasnya. Kata-kata itu menyumbat dalam pikiranku. Tiba-tiba berhenti dan semua muntahan itu kembali dalam perutku. Ku berdiri menatapnya dengan mata telanjang, tanpa kaca pembesar, tanpa kaca mata hitam. Sesosok wanita itu mulai menari. Menggoyangkan seluruh tubuhnya, semua bergerak dengan cepat. Tangannya sudah di dadaku, kakinya sudah di atas meja, kepalanya ntah melayang ke mana. Yang jelas aku tidak ingin menatap matanya, apalagi wajahnya. Semua jadi seperti film horor di negeri ini. Aku muntah kembali.

Matahari sudah melewati angka-angka yang setia menemani jarum jam. Ranjang panjang masih menelan setengah tubuhku. Kaki, perut lelap dalam perutnya. Tinggal tangan, dada dan kepalaku yang masih menyisakan tindasan-tindasan serangan.
Ranjang panjang menendangku keluar, dimuntahkan semua tubuhku. Kaki dan perutnya bersatu kembali. Semua terasa tubuh terasa teraniaya, yang paling ganas kepalaku bagian belakang. Kayu balok terus menempel, membekas rasa sakit yang tak ada bekas luka.

Kata-kata awal muncul kembali, dengan nada kecut dan garing terasa. Padahal dalam lubuk hatiku menitipkan salam padaku. Tuan saya pesan mintakan kata-kata yang mesra nan indah dari orang yang tuan cintai, agar tuan tak loyo lagi, agar tuan semangat dalam menggali hidup ini lagi. Aku sambut pesan itu sebagai amanat yang tinggi.
Ku balut emosi srigala, dengan bulu-bulu domba. Seperti halnya peribahasa saja.

Jarum jam itu tepat di angka tengah paling atas. Dua jarum, panjang dan pendek bertemu dalam satu ikatan setelah du belas jam berpisah. Kini dua jarum itu saling member kasih sayang, berpelukan, berciuman. Karena waktu terus menguasirnya.
Aku terpental zaman dalam rumahku. Surga dalam kiasan menjadi ladang neraka yang akan mengahabiskan jalanku menuju surgaMu. Bukan surga yang aku harap, tapi keridhoaanMU.

Kata-kata itu muncul dalam peraduan panjang yang sulit. Setelah aku lari dari peradapan yang monoton. Tapi, dekat denganNYA dan dengannya. Kini ranjang panjang telah membuatku jauh. Jauh tak terlihat mata telanjang.

Salatiga,190311


Biodata pengarang cerpen:
Nama: ulfatun ni'mah
Ttl: grobogan, 23 02 1990
Mahasiswi jurusan pendidikan agama islam UIN Suska Riau.
Cp: 087893405552