Selasa, 08 November 2011

Cerpen: Lelaki Idiot yang Punya Mimpi

Lelaki Idiot yang Punya Mimpi

Namanya Unyil. Berumur sekitar 30 tahunan. Setiap hari dan setiap pagi kerjanya merayau entah kemana. Ia selalu mengitari 90 derajat rumah kami. Awalnya aku takut kalau-kalau dia seorang penjahat. Dari tampangnya bisa dikatakan ia seorang penjahat kelas kakap. Bisa-bisa jika salah satu diantara kami sendirian, dia akan masuk ke rumah kami dan memperkosa kami. Itulah pikiran jahat yang merayap di benakku. Dari arah belakang rumah, ia selalu mendapatkan hasil. Terkadang sayur-sayuran yang segar, kayu bakar, dan entah apalagi. Aku teringat masa jadul yang membawa barang-barang seperti itu untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Terkadang tersenyum sendiri melihat tingkahnya.

Rumahnya tidak jauh dari rumah kami. Rumahnya bagus. Dengan keramik bercak biru muda. Dinding tembok dan lumayan besar. Itulah yang pernah diceritakan oleh temanku. Aku selalu mengintip apa yang dilakukannya saat ia mengitari rumah kami dan pergi ke arah belakang rumah. Ternyata di sana ada kebun kecil yang tak seberapa luas. Dia seakan menemui dunianya jika sudah berada di sana.

Pernah suatu ketika tetanggaku menceritakan tentang keanehannya. Ia memasak gulai insang asam pedas. Insang dari ikannya tidak dibuang, ia masak. Lomak katanya. Aku menjadi jijik mendengarnya, padahal insang ikan itukan rasanya sama sekali tidak enak. Terkadang bisa membuat rasa ikan dan gulai hambar dan pahit. Apalagi ia hanya memasak insang itu tanpa ada campuran ikan atau lainnya. Entahlah. Lagi-lagi ia selalu menimbulkan rasa aneh di lidahnya.

Hari-hari aku tidak lagi merasa was-was, karena ia sama sekali tidak berniat jahat. Tapi, setidaknya kami mesti hati-hati. Entah niat busuknya timbul setelah ada kesempatan yang datang.

Pagi ini menyisakan gerimis yang panjang. Ketika aku membuka pintu belakang rumah, aku dikejutkan oleh wajahnya yang misterius itu. “ Kamu sedang apa di sana?” Lalu di jawabnya entah dengan bahasa planet apa yang dikeluarkan. Aku tidak paham, tapi mangut-mangut pura-pura paham. Setelah kuselidiki ternyata dia ciptaan Allah yang diberi kelebihan yang lain daripada yang lain. Tingkah lakunya yang aneh membuat semua orang menjauhinya.

Senja mulai bersapa dengan pelangi. Sore yang indah. Dari bisikan angin aku mendengar desiran tangis yang hambar. Kupasang telingaku tajam supaya bisa mendengar suara itu dengan jernih. Dari kejauhan kulihat punggung lelaki yang menatap langit. Ia menangis sesekukan. “Siapakah dia?” bisikku di hati. Pekik seorang temanku membuyarkan perhatianku terhadap sosoknya.
“ Copeklah ciouk! Hari dah sonjou ni, tolambek awak beko!”
“ Lai… sabantaou!” dengan sigap aku mendekati teman-temanku.

****

Terkadang hidup merupakan tangisan. Di mana tangisan itu sangat berarti. Air mata selalu menemani kita, dalam keadaan bahagia, maupun duka. Tapi pernahkah orang mendengar tangisan kita yang berbicara? Setidaknya mendengar apa yang ia inginkan dalam hidupnya.

Kembali aku mendengar tangisan itu. Tangisan senja. Entah berasal dari mana. Mungkin tangisan anak tetangga. Tapi tangisan itu mendayu-dayu dari arah kebun belakang rumahku. Dari kebunnya Unyil. Mungkinkah Unyil yang selalu menangis di sana? Entahlah. Lagi-lagi keanehan yang kutemui di rumah baruku ini.

Namanya Unyil. Umurnya sekitar 30 tahunan. Ia ternyata seorang idiot. Tapi ia juga punya mimpi. Mimpinya bukan ingin hidup normal seperti teman-temannya yang lain. Ibunya telah tiada. Ia hidup dengan neneknya yang sudah renta ditelan waktu. Ia selalu tersenyum ketika orang mencacinya. Tapi ia sangat rajin sehingga tidak sedikit juga orang meminta pertolongan darinya. Walaupun dia seorang idiot, ia masih punya mimpi. Ia bisa berguna untuk orang banyak.

Di kebun ini, ia selalu melihat mimpinya lewat derai-derai air mata yang tak sadar jatuh melalui kelopak matanya. Apalagi ketika hujan tidak jadi. Karena di sana mimpinya akan muncul. Ia senang melihat pelangi senja yang berwarna-warni. Terkadang ingin ia petik untuk dibawa pulang memenuhi kamarnya yang kecil.
Sebelum matahari menghitam, sebelum langit muram, sebelum semesta alam mulai menunjukkan keangkuhan, kukatakan pada waktu yang demikian beku “Mengapa tangis tidak bisa merubah keadaan?”

Ia mencari-cari hingga matahari terbenam di belakang sebatang pohon. Di sana, hatiku menggigil melihat orang yang di panggil Unyil ditelan gulita. Ia pun nanar menatap senja yang baru saja tiba. Terbaring di makam yang selama ini ia gali. Ia tersenyum berkata, “ di sini aku bisa melihat mimpi.”

***

AfriLy Rinidy
Penulis cerpen ini adalah Mahasiswi Broadcsting Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau. Berkecimpung di Sekolah Menulis Paragraf di Pekanbaru-Riau.