Minggu, 07 Agustus 2011

Cerpen: Ranjang Panjang

Ranjang Panjang

Kepalaku gonjang-ganjing tak tahu arah kemana akan bersandar. Pagiku ditelan ranjang panjang berselimut dedaunan yang rimbun tak berakar. Siang ini ku rasakan aura yang berbeda, apa gara-gara tadi malam ku meninggalkan seorang gadis yang aku sayangi bermain dengan ponselnya di bawah angin yang merayu mata. Dia melontarkan kata-kata penuh harapan, serta panggilan agar terbangun dari mimpiku. Bersua kembali dalam peraduan kata-kata.

Masih ku rasakan kejamnya pundakku, leherku yang terus menusuk-nusuk dalam ingatan panjang. Sampai kapan pengharapan suatu kata lenyap dari ingatanku dan ingtannya.

Mataku terbuka tak mendapatkan apa yang biasanya aku makan dikala mata ini masih berbalut kotoran-kotoran malam. Sepi tiada rasa yang menyeruak dalam genggaman hati.

“hai ke manakah di pergi” bisikku dalam Tanya
“dia itu sedang terusik dengan kata-katamu yang rakus melahap seluruh jari jemarinya” terdengar sayup-sayup di antara dinding basah, bergelombang menarik mata. Meruncingkan ingatan kembali akan suara itu.
Ranjang panjang itu mulai menelanku secara pelan-pelan. Dengan ingatan yang sudah berbeda, dari dunia yang sudah kasat mata. Dari udara yang sama.

“hai ke mana saja kamu, ku tunggu di sini, baru menampakkan wajahmu?”
“hai, kenapa diam. Setelah 5 jam tak datang. Kini tepat pukul 5 wajahmu penuh dengan ukiran-ukiran warna kehitaman”.
“hai, kenapa tak menjawab pertanyaanku. Aku mengawatirkanmu, aku menunggumu, hanya untuk mendengar kata-kata motivasimu”.
“hai, kenapa terus membungkam mulutmu. Apa itu yang diajarkan setelah kamu menelan ribuan ilmu diperguruan tinggi itu”.
Lengser sudah pertanyaaku, sunyi kembali menemani. Nada tak lagi berteriak-teriak meminta tolong agar tubuhnya dibelai lagi.
Telinga kananku mulai berfungsi. Satu titik berperang,beradu aksi memberi informasi.
“bangun sayang, sudah jam berapa ini?”

Kata itu mucul lagi, mengisi hati dalam perut keganduhan. Melihat sepi yang ternoda akan rasa percaya diri. Palsu. Macam apa kata itu ada dalam benakku.

Ranjang mulai menggeliat, perutnya sudah mulai membesar. Suara ayunan menimbulkan nada yang menyedihkan. Menebarkan bau hitam dari lubang pantatnya. Angin berbisik mengurai jawaban yang belum pasti benar dalam ingatanku.
Aku terpaku di antara buku-buku yang gila akan penciptanya. Sebagai penikmat hanya menelan apa yang disampaikannya. Buku-buku itu teman dekatnya ranjang panjang. Setia bersama, mewujudkan visi misi dalam pertemanan mereka. Meskipun ada perbedaan yang besar menyolok setiap mata manusia yang menafsirkannya.

Mataku mulai bermain-main dengan sejumlah kata. Sejumlah kata yang berbeda dengan sebelumnya. Kata-kata ini titipan dari orang yang cerdas berkarakter tinggi. Penuh dengan kontlempase peradapan yang ia miliki. Kata-kata sebelumnya yang aku nikmati, sebuah kata-kata yang aku ciptakan sendiri kepada orang yang aku cintai. Bernada cinta dan rasa sayang tinggi. Tapi sekarang sepi karena dia sedang menikmati dunianya sendiri.

Satu paragraf, kemudian menyusul sampai enam paragraf. Ranjang panjang muncul lagi dengan perut laparnya. Perut besar, berisi angin, berisi air, dan berisi harapan-harapanku yang terdiam di dalamnya.

“sebentar, baru asyik bercinta dengan kata-kata ini. Amazing dan wonderful,wonderful, wonderful”
“Hemm kok malah sampai kata-kata yang di miliki orang nomer satu di negera ini. Tidak boleh begitu, ntar kamu dikenai pidana seribu tahun di penjara loh”. Ranjang panjang mulai cerewet dan menunjukkan sifat Sok Tahunya.
“ya tidak apa-apa to. aku di penjara malah bersukur gitu, ntar akan aku gunakan waktuku di penjara untuk menulis kata-kata yang lebih mantap. Biar bisa mencengkeram kata-kata yang sudah ada”.
“loh-loh sampean kok malah nantang to, bayangkan seribu tahun?”.

“alah, kata-kata dalam peraturan mereka itu menirukan para tukang jual penumbuh rambut di kotaku. Saya akan menggunakan waktu yang indah itu untuk menjadi lebih bermakna dalam hidupku”
Tergeletak sudah kata-kata itu dalam dadaku. Ranjang panjang sudah kehabisan akal, sudah kehabisan kesabaran. Senjata ampuh dari lubang kentutnya langsung membiusku.

Matahari menari-menari menacari celah-celah dalam dinding kamar setan. Setan berteriak kegirangan. Setan di sini tak seperti setan-setan bioskop. Semakin siang,semakin menjadi-jadi, menjadi Gerang, ganas, membakar semangat menjadi pengikutnya.
“hai, kamu siapa?. Pakainmu serba minim, membuat lidahku terkulai lemas”. Ada ketegangan sedikit, ketika dia membuka baju minimnya.

“hai, jangan kau buka pakaianmu aku sudah gak kuat menahannya”.
Terbuka semua pakaian dari atas sampai bawah. Tak ada satu benang pun menempel dalam tubuhnya. Perutku merasa mual-mual. Sekarang yang tegang bukan lagi alat laras panjang, tapi otak dan perutku lebih tegang. Seluruh isi perutku keluar dengan derasnya. Kata-kata itu menyumbat dalam pikiranku. Tiba-tiba berhenti dan semua muntahan itu kembali dalam perutku. Ku berdiri menatapnya dengan mata telanjang, tanpa kaca pembesar, tanpa kaca mata hitam. Sesosok wanita itu mulai menari. Menggoyangkan seluruh tubuhnya, semua bergerak dengan cepat. Tangannya sudah di dadaku, kakinya sudah di atas meja, kepalanya ntah melayang ke mana. Yang jelas aku tidak ingin menatap matanya, apalagi wajahnya. Semua jadi seperti film horor di negeri ini. Aku muntah kembali.

Matahari sudah melewati angka-angka yang setia menemani jarum jam. Ranjang panjang masih menelan setengah tubuhku. Kaki, perut lelap dalam perutnya. Tinggal tangan, dada dan kepalaku yang masih menyisakan tindasan-tindasan serangan.
Ranjang panjang menendangku keluar, dimuntahkan semua tubuhku. Kaki dan perutnya bersatu kembali. Semua terasa tubuh terasa teraniaya, yang paling ganas kepalaku bagian belakang. Kayu balok terus menempel, membekas rasa sakit yang tak ada bekas luka.

Kata-kata awal muncul kembali, dengan nada kecut dan garing terasa. Padahal dalam lubuk hatiku menitipkan salam padaku. Tuan saya pesan mintakan kata-kata yang mesra nan indah dari orang yang tuan cintai, agar tuan tak loyo lagi, agar tuan semangat dalam menggali hidup ini lagi. Aku sambut pesan itu sebagai amanat yang tinggi.
Ku balut emosi srigala, dengan bulu-bulu domba. Seperti halnya peribahasa saja.

Jarum jam itu tepat di angka tengah paling atas. Dua jarum, panjang dan pendek bertemu dalam satu ikatan setelah du belas jam berpisah. Kini dua jarum itu saling member kasih sayang, berpelukan, berciuman. Karena waktu terus menguasirnya.
Aku terpental zaman dalam rumahku. Surga dalam kiasan menjadi ladang neraka yang akan mengahabiskan jalanku menuju surgaMu. Bukan surga yang aku harap, tapi keridhoaanMU.

Kata-kata itu muncul dalam peraduan panjang yang sulit. Setelah aku lari dari peradapan yang monoton. Tapi, dekat denganNYA dan dengannya. Kini ranjang panjang telah membuatku jauh. Jauh tak terlihat mata telanjang.

Salatiga,190311


Biodata pengarang cerpen:
Nama: ulfatun ni'mah
Ttl: grobogan, 23 02 1990
Mahasiswi jurusan pendidikan agama islam UIN Suska Riau.
Cp: 087893405552

Tidak ada komentar:

Posting Komentar